Rabu, 25 November 2009

KRISIS LISTRIK SUDAH DARURAT TERHADAP LINGKUNGAN

Pemerintah menetapkan krisis listrik yang terjadi di Tanah Air saat ini sudah memasuki tahapan darura energi karena dari 24 daerah system kelistrikan, 22 di antaranya berada dalam situasi defisit dan siaga. Dalam enam bulan ke depan, pemerintah berharap ada solusi kongret sehingga kekurangan listrik bisa sedikit di tekan.
“Saya menyebut kondisi listrik sudah darurat karena ada 11 daerah system kelistrikan yang defisit dan 11 daerah siaga. Defisit itu adalah kurang sama sekali, sedangkan siaga akan kurang jika ada permintaan tambahan daya,”ujar Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa.
Krisis listrik mencuat menyusul kerusakan pada trafo di gardu induk Cawang dan Kembangan. Kerusakan itu membuat Jakarta dan sekitarnya harus mengalami pemadaman bergilir. Pemadaman listrik bergilir sebelumnya sudah pernah di rasakan sejumlah daerah karena pasokan listrik yang defisit. Situasi ini mengundang kecaman dan protes, terutama dari kalangan industri yang menderita kerugian hingga triliunan rupiah dan barang-barang elektronika menjadi rusak.
Atas dasar itu, Kantor Menko Perekonomian tengah membahas secara detail berbagai penyebab kelangkaan listrik dengan mengarah pada tiga elemen ongkos produksi listrik. Pertama, pilihan teknologi pada saat investasi pembangkit listrik yang dapat mempengaruhi harga jual listrik. Kedua, elemen ongkos pemeliharaan variable. Ketiga, elemen biya bahan bakar.
Elemen bahan bakar inilah yang menjadi focus utama pemerintah dalam mencegah kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Namun, PT PLN tidak diizinkan menaikkan TDL sebelum melaporkan efisiensi ongkos produksi dari penghematan elemen bahan bakar ini.
Tingginya ongkos produksi ini menjadi focus karena menjadi penyebab produk listrik dalam negeri tidak berdaya saing tinggi dibandingkan dengan negara lain. PLN tidak bisa menaikkan TDL karena daya beli masyarakat masih rendah. Selain itu warga juga mengeluh karena sebagian lampu jalan sudah dimatikan karena menghemat daya listrik.
Pemerintah menegaskan, sumber energi untuk proyek pembangkit listrik 10.000 megawatt I akan menggunakan energi campuran, termasuk batu bara. Namun, untuk proyek 10.000 II, 50 persen di antaranya akan menggunakan gas dan 50 persen batu bara.
Sementara itu, Manajer Distribusi PT PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang W Budi Nugroho di Jakarta mengklaim, sejak 19 November sudah tak ada pemadaman listrik bergilir di Jakarta dan sekitarnya. Pemadaman listrik bergilir bisa di hindari dengan adanya partisipasi pelanggan besar mencapai 150-200 megawatt.
KERUSAKAN alam dan lingkungan di negeri ini sudah berada pada tingkatan yang amat parah. Oleh karena itu, pemerintah harus kian memperkuat komitmennya terhadap lingkungan, terutama soal pentingnya konservasi alam. Untuk itu, pemerintah harus menguatkan peran Kementerian Lingkungan Hidup dalam melakukan pengawasan.
Sementara itu, di bidang energi, Rudi menyoroti krisis listrik yang terus membayangi negeri ini. Ia menyarankan kepada pemerintah agar tidak semata-mata terjebak pada euforia percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 Mw sehingga melupakan sokongan energinya.

Hasil survei Media Group pun menabalkan pendapat Rudi. Sebanyak 56,2% masyarakat tidak yakin pemerintah mampu memetakan kekurangan dan ketersediaan listrik di seluruh provinsi. Margin antara keyakinan dan kepuasan terhadap kecukupan energi listrik pun justru meningkat. Angkanya naik 11,6%, yakni dari -9,0% pada survei per 30 Oktober menjadi -20,6% pada 7 November lalu.

Penilaian masyarakat itu dinilai Rudi sangat wajar. Pasalnya, di negara yang sudah 64 tahun merdeka, selain seringnya listrik biarpet di banyak daerah, rasio elektrifikasi atau persentase pemenuhan kebutuhan listrik rakyat Indonesia pun baru mencapai 65%. Bahkan sampai ada beberapa daerah yang rasionya hanya 20%, seperti di Papua dan Nusa Tenggara Barat.

Untuk memperbesar rasio elektrifikasi dan meningkatkan pasokan listrik, dia mendorong pemerintah untuk mulai mengutamakan penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Ketergantungan pembangkit terhadap pasokan energi tidak terbarukan seperti gas, batu bara, dan minyak bumi harus terus dikurangi. Apalagi potensi EBT Indonesia yang belum termanfaatkan cukup besar, di antaranya mini/mikrohidro, biomass, energi surya, energi angin, dan energi nuklir.

Mengacu kepada Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, kontribusi EBT dalam bauran energi primer nasional pada 2025 sebesar 17%. Rincian komposisinya, yakni bahan bakar nabati sebesar 5%, panas bumi 5%, biomass, nuklir, air, surya, dan angin 5% serta batu bara yang dicairkan 2%.
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi daerah diperlukan upaya sebesar-besarnya penciptaan sumber energi yang dapat dikembangkan di daerah yang bersangkutan, misal energi terbarukan ramah lingkungan antara lain tenaga panas bumi, tenaga surya, tenaga angin, tenaga gelombang laut, bio massa dan pembangkit tenaga air. Disamping itu juga sumber enegi tak terbarukan dari fosil, misalnya tenaga batu bara, minyak dll. Untuk pengembangan energi tak terbarukan atau tidak ramah lingkungan ini, perlu kajian-kajian mendalam tentang dampak lingkungan akan muncul secara serius.
Salah satu sumber energi yang sangat cocok di Indonesia yang akan dibahas lebih jauh dalam tulisan ini adalah Pembangkit Listrik Tenga Mikrohidro (PTMH). PLTMH adalah salah satu Pembangkit Lidtrik Tenaga Air (PLTA) low head dengan kapasitas kurang dari 500 Kilo Watt (KW). Potensi total PLTMH di Indonesia tahun 2002 adalah sebesar 500 Mega Watt (MW), yang sudah dimanfaatkan baru 21 MW. Potensi tersebut sebenarnya masih akan meningkat sejalan dengan intensitas studi potensi yang dilakukan untuk menemukan lokasi-lokasi baru. Jika potensi PLTMH dapat di kembangkan maka paling tidak 12.000 MWh (Mega Watt hour) atau sebesar 14 % dari kebutuhan energi total Indonesia tahun 2005 dapat disumbang dari PLTMH. Jika studi potensi PLTMH dapat diintensifkan, maka prosentase sumbangan PLTMH terhadap kebutuhan energi nasional meningkat juga.
PLTMH untuk daerah-daerah yang sudah terdapat jaringan PLN, dapat digunakan sebagai pemasok energi untuk industri, baik menengah maupun industri kecil yang ada. Disamping itu berdasarkan Kepmen no. 1122/K/30/MEM/2002, PLTMH dapat menjual energi bangkitannya langsung kepada PLN melalui interkoneksi ke jaringan PLN. Dalam Kepmen tersebut ditegaskan bahwa PLN punya kewajiban untuk membeli listrik dari PLTMH yang menjual energi bangkitannya. Harga beli PLN untuk per KWh listrik tegangan menengah dan rendah masing-masing sebesar 80 % dan 60% dari Harga Pokok Penjualan (HPP). Kepmen ini merupakan langkah maju dalam desentralisasi penyediaan energi listrik, namun perlu diadakan perubahan sehingga harga listrik dari PLTMH minimal sama dengan HPP. Hal ini mengingat PLTMH merupakan pembangkit listrik terbarukan yang ramah lingkungan, sehingga harus mendapatkan perlakuan lebih baik dari pembangkit listrik dibandingakan dengan pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil.
Pemanfaatan energi terbarukan seperti tenaga air, angin, surya, dan gelombang untuk memenuhi kebutuhan manusia tetap diperlukan dan tidak bisa diabaikan. Sayangnya sejauh ini sumber-sumber terbarukan ini, baik secara teknologis maupun kapasitas, tidak bisa banyak membantu kebutuhan Indonesia yang pada tahun 2025 akan menjadi lebih dari tiga kali lipat kebutuhan sekarang. Di Pulau Jawa pembangunan PLTA praktis sudah tidak memungkinkan lagi. Sementara tenaga surya baru digunakan untuk mengeringkan dan memanaskan. Biomasa (misalnya sisa tebu) baru dimanfaatkan dengan dibakar. Potensi geotermal sebenarnya cukup besar, sayangnya sumber ini tidak selalu tersedia di tempat yang membutuhkan, dan susah dijangkau. Selain di Jawa, geotermal tersedia dalam jumlah yang lumayan di Sumatera, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Kalaupun seluruh potensi geotermal ini nantinya dapat dimanfaatkan, itu pun baru memenuhi seperempat saja dari kebutuhan Indonesia pada tahun 2025.
Sebenarnya problem utama sel surya dan tenaga angin untuk pembangkitan listrik terletak pada sifatnya yang tak-kontinyu dan berubah-ubah. Hal ini berarti harus ada sumber energi cadangan yang hampir sama besar kapasitasnya, atau mekanisme penyimpanan listrik (akumulator) berskala besar. Untuk pembangkitan listrik skala besar, kontinyu dan handal sebagai pemikul beban dasar, pemanfaatan tenaga surya dan angin jelas tidak bisa diharapkan, karena faktor kapasitasnya rendah, yaitu untuk sel surya biasanya kurang dari 15% (dibandingkan dengan nuklir yang di atas 85%), dan efisiensi konversi energinya rendah, 12-16%. Apalagi, panas matahari dan kecepatan serta arah angin di negara khatulistiwa seperti Indonesia tak selalu sama, sehingga potensinya tidak sebaik di negara subtropis. Di samping itu, seperti halnya dengan tenaga angin, tempat yang terbaik untuk memasang panel sel surya biasanya jauh dari penduduk, hal yang dapat menyulitkan transmisi. Harga listrik sel surya pun masih mahal, yaitu sekitar sepuluh kali lipat sumber konvensional. Namun begitu, peranan tenaga angin dan surya tetap diperlukan dan diharapkan dapat berkontribusi lebih banyak lagi di masa depan.

Referensi : Kompaa
www.mediaindonesia.com
www.alpensteel.com
nuklir-info.co.cc

Kota Malang Mulai Terendam Banjir

Kota Malang nulai mengalami banjir dan tanah longsor memasuki musim hujan ini. Hari jumat kemarin jalan kampung Kelurahan Kasin Sepanjang 15 meter longsor tergerus air sungai. Sementara itu, sejumlah rumah di kawasan itu tergenang hingga setinggi pinggang.

Kota Malang di guyur hujan deras disertai angin sejak pukul 12.30 hingga 14.00. akibatnya, di sejumlah lokasi mincul genangan air dan pohon tumbang seperti di Celaket,Klojen. Pada hari yang sama, Di Kelurahan Bunulrejo, Kecamatan Blimbing, terjadi hujan es sebesar kelereng.

Wali Kota Malang, Peni Suparto menuturkan hingga kini bencana di Kota Malang tidak jauh dari persoalan banjir. Salah satu penyebebnya adalah meningkatya hunian di kota seiring pertambahan jumlah penduduk sehingga daerah resapan air berkurang. Untuk itu, Pemkot Malang menyerukan pembuatan sumur resapan guna menaggulangi genangan air yang menyebabkan banjir.

Di Kabupaten Malang, beberapa daerah yang rawan banjir adalah Kecamatan Ampelgading, Tirtoyudo, Gedangan, Sumbermanjing Wetan, Bantur, dan Kasembon.
Adapun daerah rawan longsor antara lain daerah Pujon, Kasembon, Ngantang, Poncokusumo, Wajak, Ampelgading, Dampit, Tirtoyudo, Sumbermanjing Wetan, Gedangan, serta daerah Wonosari Kecamatan Nganjum. Setiap tahun, Kabupaten Malang menganggarkan dana Rp 5 miliar untuk tanggap darurat.

Oleh sebab itu, DPRD DKI Jakarta meminta pemerintah propinsi focus dalam membangun rumah susun sederhana sewa di dekat sungai. Rumah susun di perlukan untuk memindahkan penduduk yang tinggal di bantaran sungai.

Jika tak ada rusun, warga di tepi sungai akan menolak proyek pengerukan dan normalisasi sungai. Penolakan akan menjadi hambatan yang sangat serius dalam proyek penanganan banjir.

Pembangunan rusun sedarhana sewa di perlukan untuk merelokasi warga di bantaran sungai. Selain menggangu proses pengerukan, keberadaan mereka mempercepat pendangkalan dan penyempitan sungai.

Sebanyak 70.000 unit rusun perlu dibangun untuk menampung semua warga di bantaran sungai. namun, gubernur belum menentukan lokasi yang di pilih untuk pembangunan dan target penyelesaian rusun itu.
Salah satu daerah di kota Malang yang terkenal rawan banjir adalah kawasan Perumnas Sawojajar dan sekitarnya. Beberapa sudut di kawasan ini sering terdapat genangan air sesaat pada musim hujan terutama yang intensitasnya tinggi, sungguh ironis karena kawasan ini adalah kawasan Perumnas sekaligus jalur dari kota Malang ke Sawojajar, Madyopuro dan Mulyorejo. Sehingga perlu ditunjang oleh fasilitas yang sangat memadai sesuai dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan kota.
Meskipun waktu terjadinya relatif tidak terlalu lama, namun banjir dirasa sangat menghambat upaya menciptakan kota yang memenuhi syarat nyaman, aman, tertip dan sehat. Karena selain mengurangi keindahan lingkungan di kawasan ini banjir juga mengakibatkan terganggunya aktifitas manusia, lalu lintas menjadi tidak lancar dan dapat mempercepat kerusakan konstruksi jalan.
Yang juga menjadi masalah bagi kota malang adalah bahwa sebenarnya di kawasan ini sudah terdapat saluran drainasenya, tetapi masih ada banjir atau genganag air.
Ada beberapa hal yang kemungkinan menjadi penyebab terjadinya banjir atau genangan air di kawasan ini, yaitu :
- Curah hujan tinggi.
- Elevasi inlet drainase yang lebih tinggi dari elevasi jalan.
- Ditutupnya daerah atau tempat penampungan air hujan dan dijadikan atau didirikan kantor, rumah dan perluasan jalan serta taman.
- Berkurangnya tempat air merembes ke tanah ( infiltrasi ) karena betonisasi dan aspal.
- Saluran drainase yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya yang disebabkan oleh :
a. Tersangkutnya atau berkumpulnya lumpur, sampah atau material di saluran.
b. Ditutupnya inlet karena pengaspalan.
c. Kurangnya perawatan.
- Saluran drainase yang sudah tidak mampu lagi menampung dan mengalirkan air hujan dan air buangan. dari kondisi di atas maka perlu diadakan suatu gagasan atau studi evaluasi terhadap sistem drainase yang sudah ada di kawasan ini agar didapat penyelesaian atau pemecahan masalah banjir atau genangan air dengan dampak negatifnya.
Banjir bisa mengakibatkan gangguan kesehatan. Kejadian banjir akan membuat populasi terganggu. Saat populasi terganggu maka akan ada keseimbangan alamiah populasi yang terganggu. Bahkan kematian juga dapat terjadi. Sebenarnya, kejadian banjir dapat diperkirakan kedatangannya karena hampir setiap tahun terulang. Dengan monitoring dan sistem pencatatan yang baik rencana mitigasi bencana dapat dikembangkan.
Dampak bencana yang diakibatkan oleh banjir pada kehidupan masyarakat di antaranya adalah:
1. Gangguan keselamatan (Mis: cedera, kematian)
2. Kesehatan (mis: mortalitas, morbiditas, gangguan sistem pelayanan kesehatan)
3. Kesejahteraan masyarakat (mis: malnutrisi)
4. Ekologi (hilangnya habitat, berkurangnya keragaman spesies)
5. Isu keuangan (kehilangan properti, jeratan hutang), dsb.
Kondisi ini akan semakin diperparah dengan munculnya wabah berbasiskan banjir seperti leptospirosis, diare (termasuk cholera dan disentri), infeksi saluran nafas, hepatitis A dan E, demam tiphoid, dan penyakit lainnya yang berbasiskan vektor. Banjir juga biasanya menghancurkan sarana dan prasarana transportasi sehingga menyebabkan suplai makanan terhambat. Akibatnya, pengungsi korban banjir terancam kelaparan.
Kejadian bencana banjir yang mengancam beberapa daerah di wilayah Indonesia termasuk di Jawa Barat dan sekitarnya, seolah tidak pernah menyadarkan pemerintah daerah akan arti pentingnya menjaga lingkungan hidup. Bencana banjir yang sering terjadi pada musim hujan merupakan kesalahan dari sistem pemerintah, yang kurang siap untuk mengantisipasi krisis lingkungan. Padahal, fenomena banjir ini hampir tiap berganti tahun terus mengancam.
Akan tetapi, itu semua tidak pernah dijadikan satu pelajaran oleh pemerintah, untuk mengatasi dan mengadakan upaya preventif. Pemerintah daerah baru sadar bertindak, ketika bencana banjir telah menewaskan beberapa orang. Inilah sistem penyelenggaraan pemerintah yang kurang tanggap terhadap persoalan sosial. Sistem pemerintahan daerah yang jelek dan kurang peduli terhadap pengelolaan lingkungan hidup.
Sementara itu, sistem pemerintah daerah yang baik (good governance) adalah dengan pengelolaan lingkungan hidup yang baik, ini jelas memiliki korelasi sangat positif antara pemerintah daerah dan masyarakat. Oleh karena itu, pengelolaan lingkungan hidup yang baik mencerminkan tingkat penyelenggaraan pemerintah daerah yang baik. Pemerintah tentu saja perlu menyadari bahwa kelalaian untuk mengurus lingkungan ini, jelas akan menyebabkan kerugian umat manusia, di antaranya terjadinya bencana banjir dan kerugian harta dan barang-barang yang berada di rumah serta nyawa manusia hilang.
Pemerintah daerah perlu menyadari secara serius, kesalahan kebijakan di bidang lingkungan hidup akan sangat merugikan, baik dari segi ekonomi, kesehatan, lingkungan hidup itu sendiri, kehancuran budaya masyarakat yang terkait lingkungan, ketahanan sosial, dan kualitas kehidupan manusia. Kesadaran terhadap lingkungan harus menjadi bagian integral dari keseluruhan kebijakan pembangunan. Lingkungan hidup tidak boleh menjadi sekadar aspek pinggiran, setelah ekonomi.

Referensi : kompas
digilib.itb.ac.id
tegarrezavie.multiply.com
www.pikiran-rakyat.com

Minggu, 15 November 2009

Hubungan pencemaran dan pengrusakan lingkungan dengan pembangunan pada pengelolaan limbah

hubungan pencemaran pembangunan dengan pengelolaan limbah

Dampak (L) penting adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Perubahan mendasar ini meliputi tiga kelompok besar, yaitu:

(1). Perubahan akibat suatu kegiatan yang (secara kumulatif) menghilangkan identitas rona lingkungan awal secara nyata.

(2). Perubahan akibat suatu kegiatan yang menimbulkan ekses nyata pada kegiatan lain di sekitarnya

(3). Perubahan akibat suatu kegiatan yang menyebabkan suatu rencana tata ruang (SDA) tidak dapat dilaksanakan secara konsisten lagi.

Cara penentuan Dampak lingkungan adalah:

(1). Berdasarkan pengalaman empiris profesional (expert judgement)

(2). Perubahan dibandingkan dengan baku mutu lingkungan

(3). Perubahan dibandingkan dengan sistem nilai, fasilitas, pelayanan sosial dan sumberdaya yang diperlukan.

Faktor lain yang telah mempersulit praktek pertanian berpindah ialah bahwa lahan-lahan luas yang secara tradisional dikuasai dan dimiliki oleh penduduk telah diambil alih pemerintah untuk memproduksi kayu hutan atau dikonversi menjadi daerah perkebunan. Praktek-praktek seperti ini telah ikut menyebabkan lebih rendahnya rasio luas lahan pertanian dengan pupulasi penduduk. Teknik-teknik pertanian "modern" yang menggunakan jenis-jenis unggul serealia dan subsidi enerji pupuk dan pestisida telah mmenghancurkan struktur desa-desa tradisional karena terjadinya perubahan distribusi kesejahteraan. Penduduk yang tidak mempunyai lahan terusir dari desa dan bermigrasi menuju kota-kota besar atau mendaki pegunungan. Di kota-kota besar para imigran ini telah memperparah masalah pembuangan dan pengelo­laan limbah, penyediaan air bersih, kekurangan perumahan dan penganggu­ran. Di pegunungan, mereka telah menebang hutan untuk dipanen hasil kayunya dan dijual, serta membuka lahan-lahan baru untuk digarap; lahan- lahan marjinal ini yang biasanya terletak pada lereng yang curam telah digarap tanpa memperhatikan teknik-teknik konservasi tanah, sehingga erosi telah terjadi secara intensif dan mengakibatkan kemerosotan produk­tivitas tanah; disamping itu, perubahan-perubahan pada pola aliran air dan siltasi juga telah membahayakan keletarian berbagai bangunan esensial di daerah aliran sungai.

Pengelolaan lingkungan hidup pada hakekatnya merupakan upaya terpadu dalam hal-hal:

1. Pemanfaatan

2. Pengaturan

3. Pemeliharaan

4. Pengawasan

5. Pengendalian

6. Penyelamatan, dan

7. Pengembangan, lingkungan hidup.

Pengelolaan lingkungna hidup merupakan suatu kesatuan mental dan upaya manusia untuk:

1. Mengidentifikasi

2. Mengorganisasi

3. Mengklasifikasi

4. Menganalisis, dan

5. Mengevaluasi, sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna mengambil keputusan berbuat paling tepat bagi manfaat manusia yang berkesinambungan.

Perencanaan dan pengelolaan sumberdaya lahan dan air masih menjadi prob­lem utama di negara-negara maju, misalnya dalam pembangunan kawasan perkotaan, jalan raya dan lapangan terbang, pemeliharaan kualitas danau dan estuaria, dan konservasi kawasan lindung. Sebagian besar dari prob­lem-problem tersebut berhu-bungan dengan banyaknya kebutuhan enerji dan air oleh in-dustri dan masyarakat konsumen. Problem-problem seperti ini masih dalam bentuk embrional di negara-negara yang sedang dan belum berkembang. Hasil-hasil usahatani yang sangat besar dari sistem perta­nian-industrial lazimnya bertumpu pada input enerji yang sangat besar; dan kekurangan air ( air masih dianggap sebagai "barang bebas") telah menyebabkan timbulnya masalah-masalah serius bagi sistem industri di berbagai negara Eropa dan Amerika Serikat. Di Amerika Serikat, dimana konsumsi enerji telah meningkat dua kali lipat setiap delapan atau sepuluh tahun, diproyeksikan kebutuhan air untuk pendingin pada periode 1980-an sekitar separuh dari aliran air permukaan yang normal di seluruh negeri. Walaupun 95% dari air ini dikembalikan ke sungai, namun kualitasnya sudah tidak sama. Temperaturnya yang lebih tinggi mengurangi jumlah oksigen yang dapat larut sehingga kapasitas air sungai untuk mengasimilasikan bahan organik juga menurun. Kondisi seperti ini akan mendorong terjadinya degradasi struktur rantai makanan yang selan­jutnya akan mengurangi jumlah oksigen terlarut dalam air, dan mengganggu stabilitas ekosistem akuatik.


REFERENSI :images.pslpub.multiply.multiplycontent.com

definisi IPTEK lingkungan dan perkembangan pada pengelolaan limbah

Limbah Radioaktif

Bahan radioaktif dapat dihasilkan dari kegiatan nuklir maupun kegiatan non-nuklir. Dari kegiatan nuklir, karena berurusan dengan penggunaan bahan radioaktif maka sudah barang tentu limbah radioaktif akan dihasilkan. Kegiatan nuklir yang dimaksud antara lain seperti pengoperasian reaktor riset, pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan kegiatan daur-ulang bahan bakar nuklir (BBN) bekas dan dekomisioning instalasi/fasilitas nuklir. Sedangkan yang bukan berasal dari kegiatan nuklir atau biasa dikaitkan dengan apa yang disebut dengan NORM (Naturally Occurring Radioactive Material), dan TENORM (Technologically-Enhanced Naturally Occurring Radioactive Material). NORM merupakan bahan radioaktif yang sudah ada di alam yang secara sadar atau tidak sadar merupakan bagian dari kehidupan manusia. NORM terdapat di mana-mana, karena hampir semua bahan alami, baik dalam tubuh, makanan, ataupun di lingkungan sedikit banyak mengandung bahan radioaktif alami. TENORM adalah bahan radioaktif yang diambil dari alam (batuan, tanah, dan mineral) dan terkonsentrasi atau naik kandungan radioaktivitasnya sebagai akibat dari kegiatan industri. TENORM dijumpai di pertambangan uranium, pabrik produksi pupuk fosfat, produksi minyak dan gas, produksi energi geotermal. Regulasi pengelolaan NORM dan TENORM di beberapa negara maju telah ditetapkan, namun belum ada guideline dari IAEA.

Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan sebagai tindakan pencegahan terhadap timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup. Pengelolaan limbah radioaktif adalah pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari dan pembuangan limbah (disposal). Dalam pengelolaan limbah radioaktif sesuai ketentuan yang berlaku diterapkan program pemantauan lingkungan yang dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga keselamatan masyarakat dan lingkungan dari potensi dampak radiologik yang ditimbulkan selalu berada dalam batas keselamatan yang direkomendasikan secara nasional maupun internasional.

Dalam pemanfatan iptek untuk berbagai tujuan selalu ditimbulkan sisa proses/limbah, karena efisiensi tidak pernah mencapai 100%. Demikian juga dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nuklir selalu akan ditimbulkan limbah radioaktif sebagai sisa proses. Limbah radioaktif yang ditimbulkan harus dikelola dengan baik dan tepat agar tidak mencemari lingkungan, karena berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat. Berdasarkan pengalaman di negara maju, ditunjukkan bahwa pembersihan lingkungan (clean up) akibat terjadinya pencemaran oleh limbah radioaktif membutuhkan biaya 10 sampai 100 kali lebih besar dibandingkan bila biaya pengelolaan limbah tersebut secara baik.

Dalam pemanfaatan iptek nuklir, minimisasi limbah diterapkan mulai dari perencanaan, pemanfaatan (selama operasi) dan setelah masa operasi (pasca operasi). Pada tahap awal/perencanaan pemanfaatan iptek nuklir diterapkan azas justifikasi, yaitu “tidak dibenarkan memanfaatkan suatu iptek nuklir yang menyebabkan perorangan atau anggota masyarakat menerima paparan radiasi bila tidak menghasilkan suatu manfaat yang nyata”. Dengan menerapkan azas justifikasi berarti telah memimisasi potensi paparan radiasi dan kontaminasi serta membatasi limbah serta dampak lainnya yang akan ditimbulkan pada sumbernya. Selain penerapan azas justifikasi atas suatu pemanfaatan iptek nuklir, pemanfaatan iptek nuklir tersebut harus lebih besar manfaatnya dibandingkan kerugian yang akan ditimbulkannya, dan dalam pembangunan dan pengoperasiannya harus mendapat izin lokasi, pembangunan, dan pengoperasian dari Badan Pengawas (dalam hal ini BAPETEN di Indonesia).

Pengelompokkan limbah radioaktif

Limbah radioaktif yang ditimbulkan dari pemanfaatan iptek nuklir umumnya dikelompokkan ke dalam limbah tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Pengelompokan ini didasarkan kebutuhan isolasi limbah untuk jangka waktu yang panjang dalam upaya melindungi pekerja radiasi, lingkungan hidup, masyarakat dan generasi yang akan datang. Pengelompokan ini merupakan strategi awal dalam pengelolaan limbah radioaktif. Sistem pengelompokan limbah di tiap negara umumnya berbeda-beda sesuai dengan tuntutan keselamatan/peraturan yang berlaku di masing-masing negara.

Pengelompokan limbah dapat dilakukan selain berdasarkan tingkat aktivitasnya, juga dapat berdasarkan waktu paruh (T1/2), panas gamma yang ditimbulkan dan kandungan radionuklida alpha yang terdapat dalam limbah. Di Indonesia, sesuai Pasal 22 ayat 2, U.U. No. 10/1997, limbah radioaktif berdasarkan aktivitasnya diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Berdasarkan aktivitasnya dikelompokkan menjadi

  • limbah aktivitas rendah (10-6Ci/m3 <>
  • limbah aktivitas sedang (10-3Ci/m3 <>
  • limbah aktivitas tinggi (LTT > 104Ci/m3)

Teknologi pengolahan limbah

Tujuan utama pengolahan limbah adalah mereduksi volume dan kondisioning limbah, agar dalam penanganan selanjutnya pekerja radiasi, anggota masyarakat dan lingkungan hidup aman dari paparan radiasi dan kontaminasi. Teknologi pengolahan yang umum digunakan antara lain adalah:

  • Teknologi alih-tempat (dekontaminasi, filtrasi, dll.)
  • Teknologi pemekatan (evaporasi, destilasi, dll.)
  • Teknologi transformasi (insinerasi, kalsinasi)
  • Teknologi kondisioning (integrasi dengan wadah, imobilisasi, adsorpsi/absorpsi)

Limbah yang telah mengalami reduksi volume selanjutnya dikondisioning dalam matriks beton, aspal, gelas, keramik, synrock, dan matrik lainnya, agar zat radioaktif yang terkandung terikat dalam matriks sehingga tidak mudah terlindi dalam kurun waktu yang relatif lama (ratusan/ribuan tahun) bila limbah tersebut disimpan secara lestari/di disposal ke lingkungan. Pengolahan limbah ini bertujuan agar setelah ratusan/ribuan tahun sistem disposal ditutup (closure), hanya sebagian kecil radionuklida waktu-paruh (T1/2) panjang yang sampai ke lingkungan hidup (biosphere), sehingga dampak radiologi yang ditimbulkannya minimal dan jauh di bawah NBD (nilai batas dosis) yang ditolerir untuk anggota masyarakat.


REFERENSI : www.batan.go.id

Minggu, 08 November 2009

kemiskinan dan keterbelakangan di surabaya

kemiskinan dan keterbelakangan di surabaya

Kemiskinan merupakan masalah yang selalu ada pada setiap Negara. Permasalahan kemiskinan tidak hanya terdapat di Negara-negara berkembang saja, bahkan di Negara maju juga mempunyai masalah dengan kemiskinan. Kemiskinan tetap menjadi masalah yang rumit, walaupun fakta menunjukan bahwa tingkat kemiskinan di Negara berkembang jauh lebih besar dibanding dengan Negara maju. Hal ini dikarenakan Negara berkembang pada umumnya masih mengalami persoalan keterbelakangan hampir di segala bidang, seperti kapital, teknologi, kurangnya akses-akses ke sektor ekonomi, dan lain sebagainya.

Dengan melihat dari sisi Negara berkembang salah satunya adalah Negara Indonesia, percapaian pembangunan manusia di indonesia masih tertinggal dengan Negara-negara tetangga di ASEAN seperti Malaysia, Thailand dan Filipina. Dalam laporan pembangunan manusia (Human development Report 2005) yang terbaru, Indonesia berada pada tingkat menengah dalam pembangunan manusia global (medium Human Development) dengan peringkat ke-110 dari 177 Negara. Negara Indonesia yang pada saat ini masih berada pada tahap pemulihan restrukturisasi di bidang ekonomi dan juga perubahan-perubahan di bidang sosial politik. Dalam proses ini tidak dapat dihindari semakin meluasnya kesenjangan antar kelompok, juga antar daerah yang kaya dan daerah miskin, terutama kesenjangan Indek Pembangunan Manusia (IPM) yang mencakup tentang masalah kemiskinan. (Wikipedia Indonesia, 2005)

Sejak awal kemerdekaan Bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, sebagaimana termuat dalam alenia ke empat Undang-Undang Dasar 1945. program-program yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan, karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.

Upaya pemberantasan kemiskinan merupakan amanat konstitusional yang telah tersirat dalam UUD 1945 dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman pelaksanaanya. GBHN sebagai pencermin aspirasi rakyat secara bulat yang memuat hakikat pembangunan nasional. Pelaksanaan pembangunan nasional dijabarkan dalam dua program untuk mengatasi masalah pembangunan kemiskinan yaitu:

1. Program Pembangunan Sektoral.

Pada umumnya program ini berorientasi pada peningkatan produksi, pembangunan sarana dan prasarana fisik yang secara langsung menunjang pemenuhan kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan dan kesehatan.

2. Program Pembangunan Regional.

Program ini diarahkan pada pengembangan potensi dan kemampuan sumber daya manusia yang ada di daerah, khususnya daerah pedesaan sehingga swadaya dan kreatifitas masyarakat dapat lebih ditingkatkan.

Pembangunan yang dilaksanakan di Indonesia pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan menanggulangi masalah kemiskinan yang dilakukan secara berkelanjutan berdasarkan kemampuan dan kekuatan dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memperhatikan tantangan global. Didalam pelaksanaan yang berdasarkan pada kepribadian bangsa dan nilai luhur universal dalam mewujudkan kehidupan bangsa yang berdaulat, mandiri, berkeadilan sosial, dan berkepribadian Bangsa Indonesia.

Dalam rangka menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia dapat dilaksanakan melalui bidang kesehatan dan pendidikan. Sejumlah Negara lain sudah melaksanakan skema seperti itu dalam rangka menanggulangi kemiskinan, antara lain Pakistan, Banglades, Kenya, Meksiko, Brasil, Kolombia, Nikaragua, jamaika, dan Afrika Selatan. (Paskah Suzetta dalam kongres pembangunan manusia Indonesia, 2006)

Meskipun program-program penanggulangan kemiskinan telah dilaksanakan, pada kenyataanya di lapangan program-program tersebut banyak mengalami kendala. Ini berkaitan dengan sulitnya menghapus garis kemiskinan penduduk, sehingga banyak jumlah masyarakat yang tergolong miskin. Salah satu prasarat keeberhasilan program-program sangat tergantung pada ketepatan pengidetifikasian target group dan target area (Faisal Basri 1995:103).

Keberhasilan program pengentasan kemiskinan tergantung pada awal formulasi kebijakan, yaitu pengidentifikasi siapa sebenarnya si miskin itu dan dimana si miskin itu berada. Perubahan keadaan masyarakat dan keberadaan kemiskinan yang secara riil bersifat dinamis, artinya selalu berubah itensitas maupun ukuranya. Oleh karena itu diperlukan pengkajian yang sangat cermat agar penanggulangan masalah kemiskinan selalu sesuai dengan kontek kemiskinan itu sendiri, selain itu juga harus melihat dari sisi profil kemiskinan yang dapat diketahui dari karaakteristik ekonomi seperti sumber pendapatan, pola konsumsi atau pengeluaran, dan tingkat beban tanggungan. Juga perlu diperhatikan pula karakteristik yang dilihat dari sosial budaya dan karakteristik demografinya seperti tingkat pendidikan, cara memperoleh fasilitas kesehatan, jumlah anggota keluarga, cara memperoleh air bersih dan lain-lain. Akan tetapi yang paling diperlukan untuk membantu mereka adalah tindakan langsung berupa program alternatif yang membangun keberdayaan dan bukan derma atau karitas (charity) hingga mewujudkan kemandirian yang bisa dilakukan oleh masyarakat miskin itu sendiri dan bukan oleh orang lain untuk si miskin secara berkelanjutan (sustainable) (Ginanjar Karta Sasmita dalam Ulasan isu Nasionaal, 2006)

Pemerintah Indonesia sendiri sebetulnya telah berkomitmen dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan penanggulangan kemiskinan. Dengan memprioritaskan penanggulangan kemiskinan sebagaimana dicantumkan dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) 2001-2004 yang dimuat dalam Undang-Undang No.25 Tahun 2000. Untuk mendukung hal itu pemerintah Indonesia telah membentuk Badan Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (BKPK) berdasarkan keputusan Presiden No.42 dan No.43 Tahun 2001 tanggal 27 Maret 2001, yang mempunyai fungsi sebagai mediasi, katalisasi, advokasi, fasilitasi, dan koordinasi guna mendorong instansi pusat dan daerah, tokoh masyarakat, perguruan tinggi, lembaga legislatif dan eksekutif serta masyarakat lainnya untuk menerapkan penanggulangan kemiskinannya sendiri. Selain itu pemerintah juga terus meningkatkan alokasi dana guna menanggulangi masalah kemiskinan yaitu sebesar Rp 23 Trilliun pada tahun 2005, sebesar Rp 43 Trilliun pada tahun 2006, dan meningkat menjadi Rp 52 Trilliun pada tahun 2007 (Aburizal Bakri dalam rapat koordinasi penanggulangan kemiskinan, 2006)

Penanggulangan kemiskinan menjadi prioritas utama dari sembilan prioritas program rencana kerja pemerintah pada tahun 2007 (Lukita Dinarsyah Tuwo dalam portal Nasional, 2005) adapun alokasi dana tersebut dapat ditunjukan dalam tabel 1.1 sebagai berikut:

Guna mencapai target awal pemerintah didalam mengintegrasikan dua program penanggulangan kemiskinan yaitu Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) yang masing-masing dikelola oleh Departemen Dalam Negeri dan Departemen Pekerjaan Umum (Aburizal Bakri dalam Ulasan isu Nasional, 2006)

Setiap wilayah Kota/Kabupaten harus berperan aktif dalam pelaksanaan program pengentasan kemiskinan. Dalam upaya pengentasan kemiskinan, Pemerintah Kabupaten Kediri melaksanakan beberapa program pengentasan kemiskinan yang didanai oleh APBD Kabupaten Kediri.

Sebelum pelaksanaan program Usaha Pengentasan Kemiskinan (UPK), Pemerintah Kota Kediri telah menetapkan sasaran dan juga sosialisasi program UPK. Sosialisasi tingkat Kabupaten dalam program Gerakan Terpadu Pengentasan Kemiskinan (Gerdu Taskin) menjelaskan maksud dan tujuan, organisasi pengelola, pelaksanaan sosialisasi desa, pelaksanaan program, pertanggungjawaban dan pelestarian, sanksi-sanksi yang diberikan. Selain itu juga dijelaskan jumlah dana yang akan dialokasikan dalam program pengentasan kemiskinan, yang merupakan dana dari Propinsi Jawa Timur maupun APBD Kabupaten Kediri.

Desa Wates dan Desa Bendo Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri merupakan Desa yang mendapat program Gerdu Taskin. Dalam pelaksanaanya Pemerintah dan aparat Desa Wates terlebih dahulu mengadakan musyawarah Desa yang bertujuan untuk mengidentifikasi siapa si miskin tersebut dan siapa saja yang wajib menerima bantuan maupun manfaat, sehingga sasaran pengalokasian dari program Gerdu Taskin tersebut dapat terfokus kepada Rumah Tangga Miskin (RTM) sebagai penerima bantuan dan manfaat.

Sedangkan untuk Desa Bendo juga melakukan hal yang serupa dalam pelaksanaan program, yaitu dengan mengadakan musyawarah Desa terlebih dahulu yang bertujuan untuk mengidentifikasi siapa si miskin tersebut, dan siapa saja penduduk yang wajib memperoleh bantuan maupun manfaat, sehingga sasaran pengalokasian dana dari program pengentasan kemiskinana tersebut lebih terfokus kepada Rumah Tangga Miskin (RTM) sebagai penerima bantuan maupun manfaat dari adanya program Gerdu Taskin.

Ada beberapa penelitian terdahulu yang akan dijadikan acuan untuk menentukan variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini. Penelitian terdahulu tersebut adalah sebagai berikut:

1. Puspaningrum, Rahayu dan sunaryo (2004) dalam “strategi keluarga miskin dalam menanggulangi rendahnya tingkat penghasilan di daerah pedesaan jawa timur” metode penelitian yang digunakan adalah diskriptif eksploratif. Analisa penelitian tesebut membahas tentang strategi yang diterapkan dalam menanggulangi rendahnya tingkat penghasilan. Salah satu strategi tersebut adalah strategi kegiatan ekonomi yang meliputi perpanjangan jam kerja, intensitas pekerjaan, stabilitas pendapatan dan pemilikan pekerjaan sambilan

2. Zain (1996) dalam “kaji tindak bantuan kredit kepada keluarga miskin” penelitian ini mengkaji beberapa variabel, diantaranya indeks rumah, pemilikan aset, pendapatan keluarga, (baik pendapatan utama, pekerjaan sampingan, serta sumber penerimaan lain bukan pekerja), riwayat pekerjaan (riwayat migrasi dan keterampilan yang dimiliki), pengalaman meminjam uang dari berbagai sumber.

Berangkat dari hal tersebut, peneliti berusaha mengevaluasi program pengentasan kemiskinan yang masih berjalan hingga saat ini (Terutama pada program pemberdayaan usaha yang bersifat meberdayakan Rumah Tangga miskin hingga mewujudkan kemandirian yang bisa dilakukan oleh masyarakat miskin itu sendiri).