Minggu, 15 November 2009

definisi IPTEK lingkungan dan perkembangan pada pengelolaan limbah

Limbah Radioaktif

Bahan radioaktif dapat dihasilkan dari kegiatan nuklir maupun kegiatan non-nuklir. Dari kegiatan nuklir, karena berurusan dengan penggunaan bahan radioaktif maka sudah barang tentu limbah radioaktif akan dihasilkan. Kegiatan nuklir yang dimaksud antara lain seperti pengoperasian reaktor riset, pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) dan kegiatan daur-ulang bahan bakar nuklir (BBN) bekas dan dekomisioning instalasi/fasilitas nuklir. Sedangkan yang bukan berasal dari kegiatan nuklir atau biasa dikaitkan dengan apa yang disebut dengan NORM (Naturally Occurring Radioactive Material), dan TENORM (Technologically-Enhanced Naturally Occurring Radioactive Material). NORM merupakan bahan radioaktif yang sudah ada di alam yang secara sadar atau tidak sadar merupakan bagian dari kehidupan manusia. NORM terdapat di mana-mana, karena hampir semua bahan alami, baik dalam tubuh, makanan, ataupun di lingkungan sedikit banyak mengandung bahan radioaktif alami. TENORM adalah bahan radioaktif yang diambil dari alam (batuan, tanah, dan mineral) dan terkonsentrasi atau naik kandungan radioaktivitasnya sebagai akibat dari kegiatan industri. TENORM dijumpai di pertambangan uranium, pabrik produksi pupuk fosfat, produksi minyak dan gas, produksi energi geotermal. Regulasi pengelolaan NORM dan TENORM di beberapa negara maju telah ditetapkan, namun belum ada guideline dari IAEA.

Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan sebagai tindakan pencegahan terhadap timbulnya bahaya radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat dan lingkungan hidup. Pengelolaan limbah radioaktif adalah pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan sementara dan penyimpanan lestari dan pembuangan limbah (disposal). Dalam pengelolaan limbah radioaktif sesuai ketentuan yang berlaku diterapkan program pemantauan lingkungan yang dilaksanakan secara berkesinambungan, sehingga keselamatan masyarakat dan lingkungan dari potensi dampak radiologik yang ditimbulkan selalu berada dalam batas keselamatan yang direkomendasikan secara nasional maupun internasional.

Dalam pemanfatan iptek untuk berbagai tujuan selalu ditimbulkan sisa proses/limbah, karena efisiensi tidak pernah mencapai 100%. Demikian juga dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan iptek nuklir selalu akan ditimbulkan limbah radioaktif sebagai sisa proses. Limbah radioaktif yang ditimbulkan harus dikelola dengan baik dan tepat agar tidak mencemari lingkungan, karena berpotensi mengganggu kesehatan masyarakat. Berdasarkan pengalaman di negara maju, ditunjukkan bahwa pembersihan lingkungan (clean up) akibat terjadinya pencemaran oleh limbah radioaktif membutuhkan biaya 10 sampai 100 kali lebih besar dibandingkan bila biaya pengelolaan limbah tersebut secara baik.

Dalam pemanfaatan iptek nuklir, minimisasi limbah diterapkan mulai dari perencanaan, pemanfaatan (selama operasi) dan setelah masa operasi (pasca operasi). Pada tahap awal/perencanaan pemanfaatan iptek nuklir diterapkan azas justifikasi, yaitu “tidak dibenarkan memanfaatkan suatu iptek nuklir yang menyebabkan perorangan atau anggota masyarakat menerima paparan radiasi bila tidak menghasilkan suatu manfaat yang nyata”. Dengan menerapkan azas justifikasi berarti telah memimisasi potensi paparan radiasi dan kontaminasi serta membatasi limbah serta dampak lainnya yang akan ditimbulkan pada sumbernya. Selain penerapan azas justifikasi atas suatu pemanfaatan iptek nuklir, pemanfaatan iptek nuklir tersebut harus lebih besar manfaatnya dibandingkan kerugian yang akan ditimbulkannya, dan dalam pembangunan dan pengoperasiannya harus mendapat izin lokasi, pembangunan, dan pengoperasian dari Badan Pengawas (dalam hal ini BAPETEN di Indonesia).

Pengelompokkan limbah radioaktif

Limbah radioaktif yang ditimbulkan dari pemanfaatan iptek nuklir umumnya dikelompokkan ke dalam limbah tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Pengelompokan ini didasarkan kebutuhan isolasi limbah untuk jangka waktu yang panjang dalam upaya melindungi pekerja radiasi, lingkungan hidup, masyarakat dan generasi yang akan datang. Pengelompokan ini merupakan strategi awal dalam pengelolaan limbah radioaktif. Sistem pengelompokan limbah di tiap negara umumnya berbeda-beda sesuai dengan tuntutan keselamatan/peraturan yang berlaku di masing-masing negara.

Pengelompokan limbah dapat dilakukan selain berdasarkan tingkat aktivitasnya, juga dapat berdasarkan waktu paruh (T1/2), panas gamma yang ditimbulkan dan kandungan radionuklida alpha yang terdapat dalam limbah. Di Indonesia, sesuai Pasal 22 ayat 2, U.U. No. 10/1997, limbah radioaktif berdasarkan aktivitasnya diklasifikasikan dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah (LTR), tingkat sedang (LTS) dan tingkat tinggi (LTT). Berdasarkan aktivitasnya dikelompokkan menjadi

  • limbah aktivitas rendah (10-6Ci/m3 <>
  • limbah aktivitas sedang (10-3Ci/m3 <>
  • limbah aktivitas tinggi (LTT > 104Ci/m3)

Teknologi pengolahan limbah

Tujuan utama pengolahan limbah adalah mereduksi volume dan kondisioning limbah, agar dalam penanganan selanjutnya pekerja radiasi, anggota masyarakat dan lingkungan hidup aman dari paparan radiasi dan kontaminasi. Teknologi pengolahan yang umum digunakan antara lain adalah:

  • Teknologi alih-tempat (dekontaminasi, filtrasi, dll.)
  • Teknologi pemekatan (evaporasi, destilasi, dll.)
  • Teknologi transformasi (insinerasi, kalsinasi)
  • Teknologi kondisioning (integrasi dengan wadah, imobilisasi, adsorpsi/absorpsi)

Limbah yang telah mengalami reduksi volume selanjutnya dikondisioning dalam matriks beton, aspal, gelas, keramik, synrock, dan matrik lainnya, agar zat radioaktif yang terkandung terikat dalam matriks sehingga tidak mudah terlindi dalam kurun waktu yang relatif lama (ratusan/ribuan tahun) bila limbah tersebut disimpan secara lestari/di disposal ke lingkungan. Pengolahan limbah ini bertujuan agar setelah ratusan/ribuan tahun sistem disposal ditutup (closure), hanya sebagian kecil radionuklida waktu-paruh (T1/2) panjang yang sampai ke lingkungan hidup (biosphere), sehingga dampak radiologi yang ditimbulkannya minimal dan jauh di bawah NBD (nilai batas dosis) yang ditolerir untuk anggota masyarakat.


REFERENSI : www.batan.go.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar