Pemerintah menetapkan krisis listrik yang terjadi di Tanah Air saat ini sudah memasuki tahapan darura energi karena dari 24 daerah system kelistrikan, 22 di antaranya berada dalam situasi defisit dan siaga. Dalam enam bulan ke depan, pemerintah berharap ada solusi kongret sehingga kekurangan listrik bisa sedikit di tekan.
“Saya menyebut kondisi listrik sudah darurat karena ada 11 daerah system kelistrikan yang defisit dan 11 daerah siaga. Defisit itu adalah kurang sama sekali, sedangkan siaga akan kurang jika ada permintaan tambahan daya,”ujar Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Radjasa.
Krisis listrik mencuat menyusul kerusakan pada trafo di gardu induk Cawang dan Kembangan. Kerusakan itu membuat Jakarta dan sekitarnya harus mengalami pemadaman bergilir. Pemadaman listrik bergilir sebelumnya sudah pernah di rasakan sejumlah daerah karena pasokan listrik yang defisit. Situasi ini mengundang kecaman dan protes, terutama dari kalangan industri yang menderita kerugian hingga triliunan rupiah dan barang-barang elektronika menjadi rusak.
Atas dasar itu, Kantor Menko Perekonomian tengah membahas secara detail berbagai penyebab kelangkaan listrik dengan mengarah pada tiga elemen ongkos produksi listrik. Pertama, pilihan teknologi pada saat investasi pembangkit listrik yang dapat mempengaruhi harga jual listrik. Kedua, elemen ongkos pemeliharaan variable. Ketiga, elemen biya bahan bakar.
Elemen bahan bakar inilah yang menjadi focus utama pemerintah dalam mencegah kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Namun, PT PLN tidak diizinkan menaikkan TDL sebelum melaporkan efisiensi ongkos produksi dari penghematan elemen bahan bakar ini.
Tingginya ongkos produksi ini menjadi focus karena menjadi penyebab produk listrik dalam negeri tidak berdaya saing tinggi dibandingkan dengan negara lain. PLN tidak bisa menaikkan TDL karena daya beli masyarakat masih rendah. Selain itu warga juga mengeluh karena sebagian lampu jalan sudah dimatikan karena menghemat daya listrik.
Pemerintah menegaskan, sumber energi untuk proyek pembangkit listrik 10.000 megawatt I akan menggunakan energi campuran, termasuk batu bara. Namun, untuk proyek 10.000 II, 50 persen di antaranya akan menggunakan gas dan 50 persen batu bara.
Sementara itu, Manajer Distribusi PT PLN Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang W Budi Nugroho di Jakarta mengklaim, sejak 19 November sudah tak ada pemadaman listrik bergilir di Jakarta dan sekitarnya. Pemadaman listrik bergilir bisa di hindari dengan adanya partisipasi pelanggan besar mencapai 150-200 megawatt.
KERUSAKAN alam dan lingkungan di negeri ini sudah berada pada tingkatan yang amat parah. Oleh karena itu, pemerintah harus kian memperkuat komitmennya terhadap lingkungan, terutama soal pentingnya konservasi alam. Untuk itu, pemerintah harus menguatkan peran Kementerian Lingkungan Hidup dalam melakukan pengawasan.
Sementara itu, di bidang energi, Rudi menyoroti krisis listrik yang terus membayangi negeri ini. Ia menyarankan kepada pemerintah agar tidak semata-mata terjebak pada euforia percepatan pembangunan pembangkit listrik 10.000 Mw sehingga melupakan sokongan energinya.
Hasil survei Media Group pun menabalkan pendapat Rudi. Sebanyak 56,2% masyarakat tidak yakin pemerintah mampu memetakan kekurangan dan ketersediaan listrik di seluruh provinsi. Margin antara keyakinan dan kepuasan terhadap kecukupan energi listrik pun justru meningkat. Angkanya naik 11,6%, yakni dari -9,0% pada survei per 30 Oktober menjadi -20,6% pada 7 November lalu.
Penilaian masyarakat itu dinilai Rudi sangat wajar. Pasalnya, di negara yang sudah 64 tahun merdeka, selain seringnya listrik biarpet di banyak daerah, rasio elektrifikasi atau persentase pemenuhan kebutuhan listrik rakyat Indonesia pun baru mencapai 65%. Bahkan sampai ada beberapa daerah yang rasionya hanya 20%, seperti di Papua dan Nusa Tenggara Barat.
Untuk memperbesar rasio elektrifikasi dan meningkatkan pasokan listrik, dia mendorong pemerintah untuk mulai mengutamakan penggunaan energi baru terbarukan (EBT). Ketergantungan pembangkit terhadap pasokan energi tidak terbarukan seperti gas, batu bara, dan minyak bumi harus terus dikurangi. Apalagi potensi EBT Indonesia yang belum termanfaatkan cukup besar, di antaranya mini/mikrohidro, biomass, energi surya, energi angin, dan energi nuklir.
Mengacu kepada Perpres No 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, kontribusi EBT dalam bauran energi primer nasional pada 2025 sebesar 17%. Rincian komposisinya, yakni bahan bakar nabati sebesar 5%, panas bumi 5%, biomass, nuklir, air, surya, dan angin 5% serta batu bara yang dicairkan 2%.
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan energi daerah diperlukan upaya sebesar-besarnya penciptaan sumber energi yang dapat dikembangkan di daerah yang bersangkutan, misal energi terbarukan ramah lingkungan antara lain tenaga panas bumi, tenaga surya, tenaga angin, tenaga gelombang laut, bio massa dan pembangkit tenaga air. Disamping itu juga sumber enegi tak terbarukan dari fosil, misalnya tenaga batu bara, minyak dll. Untuk pengembangan energi tak terbarukan atau tidak ramah lingkungan ini, perlu kajian-kajian mendalam tentang dampak lingkungan akan muncul secara serius.
Salah satu sumber energi yang sangat cocok di Indonesia yang akan dibahas lebih jauh dalam tulisan ini adalah Pembangkit Listrik Tenga Mikrohidro (PTMH). PLTMH adalah salah satu Pembangkit Lidtrik Tenaga Air (PLTA) low head dengan kapasitas kurang dari 500 Kilo Watt (KW). Potensi total PLTMH di Indonesia tahun 2002 adalah sebesar 500 Mega Watt (MW), yang sudah dimanfaatkan baru 21 MW. Potensi tersebut sebenarnya masih akan meningkat sejalan dengan intensitas studi potensi yang dilakukan untuk menemukan lokasi-lokasi baru. Jika potensi PLTMH dapat di kembangkan maka paling tidak 12.000 MWh (Mega Watt hour) atau sebesar 14 % dari kebutuhan energi total Indonesia tahun 2005 dapat disumbang dari PLTMH. Jika studi potensi PLTMH dapat diintensifkan, maka prosentase sumbangan PLTMH terhadap kebutuhan energi nasional meningkat juga.
PLTMH untuk daerah-daerah yang sudah terdapat jaringan PLN, dapat digunakan sebagai pemasok energi untuk industri, baik menengah maupun industri kecil yang ada. Disamping itu berdasarkan Kepmen no. 1122/K/30/MEM/2002, PLTMH dapat menjual energi bangkitannya langsung kepada PLN melalui interkoneksi ke jaringan PLN. Dalam Kepmen tersebut ditegaskan bahwa PLN punya kewajiban untuk membeli listrik dari PLTMH yang menjual energi bangkitannya. Harga beli PLN untuk per KWh listrik tegangan menengah dan rendah masing-masing sebesar 80 % dan 60% dari Harga Pokok Penjualan (HPP). Kepmen ini merupakan langkah maju dalam desentralisasi penyediaan energi listrik, namun perlu diadakan perubahan sehingga harga listrik dari PLTMH minimal sama dengan HPP. Hal ini mengingat PLTMH merupakan pembangkit listrik terbarukan yang ramah lingkungan, sehingga harus mendapatkan perlakuan lebih baik dari pembangkit listrik dibandingakan dengan pembangkit listrik yang berbahan bakar fosil.
Pemanfaatan energi terbarukan seperti tenaga air, angin, surya, dan gelombang untuk memenuhi kebutuhan manusia tetap diperlukan dan tidak bisa diabaikan. Sayangnya sejauh ini sumber-sumber terbarukan ini, baik secara teknologis maupun kapasitas, tidak bisa banyak membantu kebutuhan Indonesia yang pada tahun 2025 akan menjadi lebih dari tiga kali lipat kebutuhan sekarang. Di Pulau Jawa pembangunan PLTA praktis sudah tidak memungkinkan lagi. Sementara tenaga surya baru digunakan untuk mengeringkan dan memanaskan. Biomasa (misalnya sisa tebu) baru dimanfaatkan dengan dibakar. Potensi geotermal sebenarnya cukup besar, sayangnya sumber ini tidak selalu tersedia di tempat yang membutuhkan, dan susah dijangkau. Selain di Jawa, geotermal tersedia dalam jumlah yang lumayan di Sumatera, Nusa Tenggara dan Sulawesi. Kalaupun seluruh potensi geotermal ini nantinya dapat dimanfaatkan, itu pun baru memenuhi seperempat saja dari kebutuhan Indonesia pada tahun 2025.
Sebenarnya problem utama sel surya dan tenaga angin untuk pembangkitan listrik terletak pada sifatnya yang tak-kontinyu dan berubah-ubah. Hal ini berarti harus ada sumber energi cadangan yang hampir sama besar kapasitasnya, atau mekanisme penyimpanan listrik (akumulator) berskala besar. Untuk pembangkitan listrik skala besar, kontinyu dan handal sebagai pemikul beban dasar, pemanfaatan tenaga surya dan angin jelas tidak bisa diharapkan, karena faktor kapasitasnya rendah, yaitu untuk sel surya biasanya kurang dari 15% (dibandingkan dengan nuklir yang di atas 85%), dan efisiensi konversi energinya rendah, 12-16%. Apalagi, panas matahari dan kecepatan serta arah angin di negara khatulistiwa seperti Indonesia tak selalu sama, sehingga potensinya tidak sebaik di negara subtropis. Di samping itu, seperti halnya dengan tenaga angin, tempat yang terbaik untuk memasang panel sel surya biasanya jauh dari penduduk, hal yang dapat menyulitkan transmisi. Harga listrik sel surya pun masih mahal, yaitu sekitar sepuluh kali lipat sumber konvensional. Namun begitu, peranan tenaga angin dan surya tetap diperlukan dan diharapkan dapat berkontribusi lebih banyak lagi di masa depan.
Referensi : Kompaa
www.mediaindonesia.com
www.alpensteel.com
nuklir-info.co.cc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar