Sebagai salah satu negara dengan kekayaan dan keragaman alam serta budaya yang luar
Brazil. Dengan luas daratan sebesar “hanya” 1,5% dari seluruh luas permukaan Bumi ini,
Indonesia merupakan tempat yang menyumbangkan lebih dari 10% tumbuh-tumbuhan di
dunia, lebih dari 10.000 spesies pohon tegak di dunia, dan sekitar 25.000 sampai 30.000
spesies tumbuhan berbunga.
Indonesia memang benar-benar satu negara mega biodiversity yang luar biasa dan
tentunya perlu disyukuri. Namun pada saat yang sama perlu diingat dan terus
dikumandangkan dengan lantang bahwa telah terjadi berbagai kerusakan dan degradasi
yang luar biasa dan mengancam keberlanjutan Indonesia. Di sektor kehutanan telah
terjadi deforestasi yang meningkat dalam beberapa dekade ini. Seperti dilaporkan oleh
Bank Dunia (2003) dan Departemen Kehutanan, tingkat deforestasi di Indonesia telah
mencapai lebih dari dua juta hektar per tahun. Secara total, luas hutan kita mengalami
pengurangan yang sangat signifikan.
Apabila pada tahun 1950, terdapat 162 juta hektar hutan di Indonesia, pada tahuan 1985,
hutan kita tinggal 119 juta hektar. Angka ini terus mengalami penyusutan, karena pada
tahun 2000, hutan Indonesia tinggal 96 juta hektar. Apabila tingkat kehilangan hutan ini
terus terjadi sebesar 2 juta hektar per tahun, dalam kurun 48 tahun ke depan, seluruh
wilayah Indonesia akan menjadi gurun pasir yang gundul dan panas.
Pembangunan Berkelanjutan dan Kearifan Lingkungan
Sebenarnya apakah akar penyebab krisis lingkungan hidup di Indonesia? Telah diketahui,
ideologi pembangunan yang materialistik selama ini telah mendorong proses
pembangunan yang luar biasa. Capaian pembangunan materialistik juga harus diakui
membawa banyak manfaat. Namun, perlu diakui pula capaian pembangunan ini belum
membawa kesejahteraan bagi seluruh umat manusia. Bahkan cenderung terjadi gap yang
dalam dan lebar antara mereka yang over consumption dan mereka yang under
consumption. Dari perspektif ini, menjadi penting kemudian melihat kembali etika dan
kearifan lingkungan sebagai dasar dari proses pembangunan.
Ada dua pandangan ekstrem etika lingkungan yang dapat dipertentangkan. Pertama, biasa
dikenal dengan pandangan anthropocentris yang menekankan bahwa manusia sebagai
subjek utama dunia dan harus mendapat prioritas dalam pemanfaatan lingkungan dan
sumber daya. Perspektif ini melihat, proses pembangunan dan implikasi terhadap
lingkungan dipandang sebagai satu keniscayaan, sejauh proses tersebut diperuntukkan
bagi kesejahteraan manusia. Pandangan ini mewarnai dan menjiwai proses pembangunan
yang eksploitatif selama ini. Sering pula digunakan sebagai alat justifikasi setiap
keputusan pembangunan yang dilakukan manusia. Dalam banyak kasus, pandangan ini
juga dipakai manusia untuk menjustifikasi motif dan tindakan serakahnya. Jelas ini
berdampak pada kerusakan lingkungan.
Pembangunan berkelanjutan sesungguhnya merupakan wacana moral dan kultural. Hal
ini disebabkan karena yang menjadi persoalan utama adalah pada bentuk dan arah
peradaban seperti apa yang akan dikembangkan manusia di Bumi ini. Kearifan
lingkungan lokal, sekaligus plural perlu terus dikembangkan. Tetapi tidak hanya
diposisikan sebagai upaya untuk ”melawan” kecenderungan globalisasi dan westernisasi,
melainkan satu ”pilihan”. Dengan kata lain, pengembangkan kearifan lingkungan tidak
selalu harus ”dibenturkan” globalisasi/westernisasi, karena dia adalah ”keyakinan”
sekaligus ”pilihan-pilihan” sadar tiap kelompok manusia di Bumi untuk mengembangkan
peradaban yang plural, sekaligus identitas yang beragam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar